Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga
masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong
menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya membawa sidekka (sumbangan
kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang atau kebutuhan untuk mengurus
mayat, selain itu ada juga yang membawa passolo (amplop berisi uang
sebagai tanda turut berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan
dan seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah semua
keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh
orang-orang tertentu yang memang biasa memandikan mayat atau oleh anggota
keluarganya sendiri.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika
memandikan mayat, yaitu mabbolo (menyiramkan air ke tubuh mayat
diiringi pembacaan do’a dan tahlil), maggoso’ (menggosok bagian-bagian
tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa
dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau oleh orang
tuanya) dan mappajjenne’ (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus
mewudhukan mayat). Orang -orang yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka
(sedekah) berupa pakaian si mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju,
celana, dan lain sebagainya. Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian
dikafani dengan kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya.
Setelah itu imam dan beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut aturan
Islam. Sementara diluar rumah, anggota keluarganya membuat ulereng
(usungan mayat) untuk golongan tau samara (orang kebanyakan) atau Walasuji
(untuk golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Bersamaan dengan pembuatan ulereng,
dibuat pula cekko-cekko, yaitu semacam tudungan yang berbentuk
lengkungan panjang sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas timbunan
liang lahat apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan apabila, semua tata cara
keislaman telah selesai dilakukan dari mulai memandikan, mengafani, dan
menyembahyangkan mayat, maka jenazahpun diusung oleh beberapa orang keluar
rumah lalu diletakan diatas ulereng.
Tata cara membawa usungan atau ulureng
ini terbilang unik. Ulereng diangkat keatas kemudian diturunkan lagi
sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah
kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti rombongan
pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa
berganti-gantian mengusung ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan
dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang
berjalan/berkendara dari belakang tidak boleh mendahului rombongan pengantar
jenazah hingga sampai di areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti beberapa
orang yang akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat
segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh masyarakat kemudian
meletakkan segenggam tanah yang telah dibacakan doa atau mantera-mantera ke
wajah jenazah sebagai tanda siame’ (penyatuan) antara tanah dengan
mayat.setelah itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam
membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas pusara diletakan buah kelapa yang
telah dibelah 2 dan tetap ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula
payung dan cekko-cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan
kepercayaan lama orang Bugis Makassar, bahwa meskipun seseorang telah meninggal
dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu, kelapa dan
airnya yang diletakan diatas kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah
orang yang telah meninggal, sedangkan payung selain untuk melindungi rohnya,
juga merupakan simbol keturunan.
Sumber:
BugissengkangBugis Sengkang in facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar