Kamis, 08 November 2012

SEKILAS TANAH WAJO LAMADDUKKELLENG


Kabupaten wajo merupakan salah satu kabupaten di Profinsi Sulawesi Selatan.  Ibukota Sengkang, semkitar 242 Km dari kota Makassar (Ibukota profinsi Sulawesi Selatan), dapat ditempuh sekitar lima sampai enam jam dengan mobil. Dan sekitar 87 km dari Pare-Pare, pusat kawasan pengembangan ekonomi terpadu di Sulawesi Selatan.
Wajo yang luas wilayahnya 250.619 hektar, terbagi atas 14 kecamatan, 48 kelurahan, dan 128 desa, dan memiliki potensi sumber daya alam yang besar.
Karakteristik potensi alam Wajo, seperti diungkapkan oleh Arung Matoa Wajo, La tadampare Puang Ri Maggalatung (1491-1521) : “Mangkalungu ri bulu’e, massulappe ri fottanangnge mattodang ri tasi’e nenniya ri tapparengnge”. Artinya: daerah ini merupakan negeri yang subur dan nyaman. Ibarat seseorang yang tidur, maka ia berbantalkan gunung dan hutan, memeluk lembah, dan kakinya menyentuh danau atau air laut.
Ungkapan cendikiawan Wajo di abad ke-15 itu memang bukan syair khayalan, namun merupakan suatu kenyataan yang hingga kini menjadi potensi andalan masyarakat kabupaten Wajo. Hamparan lahan persawahan yang ada di daerah ini sekitar 86.000 hektar. Baru sekitar 20 persen yang terjangkau irigasi teknis. Jika areal persawahan ini rata-rata menghasilkan empat ton padi setiap tahunnya, berarti Kabupaten Wajo menghasilkan 334.000 ton padi setiap tahun. Suatu jumlah yang sangat fantstik.
Pada tanah berbukit yang berjejer mulai dari kecamatan Tempe ke Utara – kecamatan Maniangpajo, kecamatan Keera dan Pitumpanua, kini merupakan wilayah hutan tanaman industri, perkebunan coklat, cengkeh, jambu mente serta pengembangan ternak. Secara keseluruhan potensi kabupaten Wajo seluas lebih 38.000 hektar, diantaranya telah dikelola sekitar 28.000 hektar. Setiap tahun telah menghasilkan produksi ratusan hingga ribuan ton berbagai jenis komoditas eksport seperti; cengkeh, kakao, dan kelapa hybrida.
Padang rumput/alang-alang seluas 34.000 hektar merupakan lahan pengembalaan ternak besar dan kecil yang populasinya kini mencapai puluhan ribu ekor. Belum lagi ternak unggas yang berupa ayam ras, itik, ayam buras, yang populasinya sudah melebihi jutaan ekor.
Di pesisir pantai timur, terhampar lahan pertambakan sekitar 15.000 hektar. Masih sebagian kecil yang dikelola secara teknis, tapi telah memproduksi puluhan ribu ton udang, setiap tahunnya. Garis pantai teluk Bone yang membentang sekitar 110 km, memiliki potensi ikan laut yang tidak kecil. Termasuk budidaya rumput laut. Danau Tempe yang luasnya 13.000 hektar, merupakan penghasil ikan air tawar terbesar di dunia.
Struktur perekonomian kabupaten Wajo memang didominasi oleh sektor pertanian dengan konstribusi lebih dari 45 persen. Menyusul sektor perdagangan, hotel dan restoran 19 persen, dan sektor pertambangan penggalian 9 persen.
Pada tahun 1997, saat kondisi perekonomian nasional mulai mengalami krisis, pertumbuhan ekonomi Wajo juga terkena dampak, sehingga terpuruk menjadi minus 6,66 persen. Namun setahun kemudian, terutama setelah penambangan gas bumi Gilireng mulai memproduksi, pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Wajo kembali membaik dalam posisi pertumbuhan 6,06 persen. Kondisi itu bertahan hingga tahun 1999.
Pendapatan perkapita masyarakat Wajo pun telah berada pada posisi Rp. 3,5 Juta pertahun. Bahkan dalam musim haji tahun 2000 terjadi peningkatan jumlah calon haji asal Kabupaten Wajo lebih dari 100 persen. Tahun 1999 Cuma 1.400 orang, pada musim haji tahun berikutnya 2.700 orang dan terus bertambah setiap tahunnya. Mereka sebagian besar petani.

Rabu, 07 November 2012

PARIWISATA DI WAJO



                                                      DANAU TEMPE

Danau Tempe terletak di bagian barat kabupaten Wajo. Tepatnya, di kecamatan Tempe, sekitar 7 kilometer dari kota Sengkang menuju tepi sungai Walanae. Dari sungai ini, perjalanan ke danau tempe dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor (katinting). Perkampungan nelayan bernuansa Bugis berjejer di sepanjang tepi danau. Nelayan yang menangkap ikan di danau yang seluas 13.000 hektar itu dengan latar belakang rumah terapung merupakan pemandangan yang sangat menarik. Dari ketinggian, Danau Tempe tampak bagaikan baskom yang diapit oleh 3 kabupaten. Yaitu; Wajo, Soppeng dan Sidrap.
Sambil bersantai di atas perahu, wisatawan dapat menyaksikan terbitnya matahari di ufuk timur dan terbenamnya matahari di ufuk barat pada sore hari. Ditengah danau, kita dapat menyaksikan beragam satwa burung, bunga, dan rumput air, serta burung belibis (lawase, bahasa Bugis) menyambar ikan-ikan yang muncul di atas permukaan air.
Danau Tempe memiliki spesies ikan air tawar yang jarang ditemui di tempat lain. Konon, dasar danau ini menyimpan sumber makanan ikan, yang diperkirakan ada kaitannya dengan letak Danau Tempe yang berada di atas lempengan dua benua, yaitu Australia dan Asia. Di waktu malam, wisatawan dapat menginap di rumah terapung bersama nelayan, kita dapat menyaksikan rembulan di malam hari yang menerangi Danau Tempe sambil memancing ikan. Sementara itu, para nelayan, menangkap ikan diiringi dengan musik tradisional yang dimainkan penduduk. Pada tanggal 23 agustus setiap tahunnya, merupakan kalender kegiatan pelaksanaan festival laut di Danau Tempe.
Acara ritual nelayan ini disebut “Maccera Tappareng” atau acara mensucikan danau dengan menggelar atraksi wisata yang sangat menarik. Pada hari perayaan Festival Danau Tempe ini, semua peserta upacara Maccera Tappareng ini memakai baju bodo (pakaian adat orang Bugis)
Acara ini juga dimeriakan dengan beberapa atraksi seperti lomba perahu tradisional, lomba perahu hias, lomba permainan rakyat (lomba layangan tradisional, pemilihan anak dara dan kallolo Tanah Wajo), lomba menabuh lesung (mappadendang), pagelaran musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan oleh waria, dan berbagai pagelaran tradisional lainnya.
Lomba perahu dayung merupakan tradisi turun-temurun dan terpelihara di kalangan para nelayan. Sedangkan Maccera Tappareng merupakan bentuk kegiatan ritual yang diatas Danau Tempe oleh masyrakat Wajo yang berdomisili di pinggir Danau Tempe, biasanya ditandai dengan acara pemotongan qurban/sapi yang dipimpin oleh seorang ketua nelayan, dan serentetan acara lainnya.