Sejak dahulu kerajaan wajo tidak seperti halnya
dengan kerajaan yang ada di sulawesi maupun yang ada di nusantara ini. Kerajaan
wajo bukanlah milik kalangan tertentu atau bangsawan saja yang diwariskan
secara turun temurun. Kerajaan wajo merupakan kerajaan bersama pemerintah
dengan rakyat. Seorang raja diangkat bukan berdasarkan keturunan tetapi melalui
hasil keputusan rapat pemangku adat atau rapat dewan adat Arung Patappulo’e
(dewan adat beranggotakan 40 orang). Jadi sejak dahulu di wajo telah dibentuk
anggota dewan sama seperti yang ada di indonesia sekarang.
Seorang Raja/Arung yang diangkat harus tunduk
kepada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan dan harus menghargai kebebasan
atau kemerdekaan setiap individu yang ada di wajo. Di wajo ditanamkan sikap
kemerdekaan yang tinggi, setiap raja harus menanamkan bahwa ”To Wajo’e Ri
Laleng Tampu Mopi Na Maradeka” artinya “setiap orang wajo itu masih sejak di
dalam kandungan dia sudah merdeka” jadi tidak satupun yang boleh merampas
kebebasan tersebut sekalipun itu seorang raja.
Kini bekas kerajaan yang berakhir tahun 1948,
adalah wilayah yang kemudian disebut sebagai Kabupaten Wajo. Sumber penghidupan
masyarakat Wajo sejak masa kerajaan yaitu pertanian, perikanan dan perkebunan,
sampai sekarang masih menjadi andalan mereka.
Kejayaan Bugis masa lalu, dipercaya karena
kesediaan masyarakat Bugis waktu itu menghargai keberadaan para Arung atau
raja. Para Arung atau raja adalah pusat kekuasaan dan kesejahteraan mereka.
Pada masa kini, sebuah simbol barangkali memang masih dibutuhkan kehadirannya,
untuk menyatukan masyarakat dalam harmoni. Harmoni untuk kedamaian hidup
bermasyarakat.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua
Arung Matowa ke 30, beliau membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan
cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan
pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi
Arung Matowa 31 dilantik disaat perang, pada zamannya beliau memajukan posisi
wajo secara sosial politik diantara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung
Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer
Jenerala (Jendral) Koronele (Kolonel) Manynyoro (Mayor) dan Kapiteng (Kapten).
Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian
bongayya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo
dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa’na Wajo.
Sehingga kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo
sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte
Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring. Wajo dibawah RIS dalam hal
ini NIT berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konfrensi Meja Bundar,
Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten tepatnya ditahun 1957.
Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan
gejolak pemberontahan DI TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah Bupati.
Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya
Swapraja akhirnya menjadi kabupaten.
”Maradeka To Wajo’e Ade’na Napapuang”
kata tersebut secara bebas berarti merdeka orang wajo hanya adat yang
dijunjung/diabdikan. Tentu timbul pertanyaan mengapa filosofi tersebut bisa
muncul dan menjadi pegangan orang-orang wajo bahkan sampai dijadikan lambang
resmi dari Kabupaten Wajo.
Konsep kemerdekaan dari para raja dan cendekia
Wajo:
Latenri Bali, Batara Wajo 1
“Maradeka to wajoe taro pasoro gau’na, naisseng
alena, ade’na napopuang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, bertanggung jawab, tahu
diri, hanya adatlah yang menjadi hukum penentu”
Adek amaradekangenna to Wajoe
(Perjanjian Kemerdekaan Orang Wajo)
“Napoalebbirenggi to wajoe maradeka, malempu,
namapaccing rigau salae, mareso mappalaong, namaparekki riwarangparangna”
Artinya :
“orang wajo lebih memilih merdeka, jujur,
menghindari perbuatan tercela, ulet dan hemat”
Puang Ri Maggalatung, batara wajo IV
“Maradeka to wajoe najajiang alena maradeka,
tanaemi ata, naia tau makketanae maradekamaneng, rilaleng tampumupi namaradeka
napoada adanna, napogau gauna ade’ assimaturusengmi napapoang”
Artinya:
“Merdeka orang wajo, lahir dengan merdeka, tanah
yang jadi bawahan, setiap orang yang hidup di wajo merdeka semua, bebas
berpendapat, bebas bekerja, hanya kata sepakat yang jadi pedoman hukum
Sutera Sengkang in Facebook
Kampung Bugis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar