Senin, 26 Mei 2014

Bugis Sengkang (Amaradekangeng)

Kata amaradekangeng berasal dari kata maradeka yang berarti merdeka atau bebas. Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam Lontarak sebagai berikut.
Naia riasennge maradeka, tellumi pannessai: Seuani, tenrilawai riolona.
Maduanna, tenriangkai' riada-adanna.
Matellunna, tenriacceanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao riase, lao riawa.

(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya:
pertama, tidak dihalangi kehendaknya;
kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat;
ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan kebawah. Itulah hak-hak kebebasan.)


Demokrasi
sebagai bentuk atau mekanisme system pemerintahan suatu Negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)  atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut.

Rusa’ taro arung, tenrusa’ taro ade,
Rusa’ taro ade, tenrusa’ taroanang,
Rusa’ taro anang, tenrusa’ taro tomaega.

(Batal
ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)

Dalam
ungkapan itu, jelas tergambar bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segala-galanya bagi negara. Raja atau penguasahanyalah merupakan segelintir manusia yang diberikepercayaan untuk mengurus administrasi, keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara (Said, 1998).
Konsep di atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan ada di tangan rakyat. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dari kutipan
itu, jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau tentang volontege nerale atau kehendak umum dan volonte de tous atau kehendak khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau berkesesuaian dengan system pemerintahan yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan rakyat (umum).

Dalam
menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu dipertimbangkan.
 Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut. "Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi sayatempatkan di atas."

Ketetapan
hukum yang tergambar dalam getting bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja tidak akan memutus kan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat sepatutnya.Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa Negara adalah sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja. Raja tidak dapat berbuat sekehendak hatinya kepada negara yang menjadi milik dari rakyat itu. Raja sama sekali tidak dapat membuat peraturan dengan seenaknya, terutama menyangkut kepentingan dirinya atau keluarganya. Semua peraturan yang akan ditetapkan oleh raja harus melalui persetujuan dari kalangan wakil rakyat yang telah mendapatkan kepercayaan dari
rakyat. Jika raja melanggar
ketentuan itu, berarti raja telah melanggar kedaulatan rakyat.

Adat
menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut.
1. Mannganro
ri ade', memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.

2. Mapputane', menyampaikan
keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, Maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja.

3. Mallimpo-ade', protes yang mendesak
adat karena perbuatan sewenang-wenang raja, dan karena usaha melalui mapputane' gagal. Orang banyak, tetapi tanpa perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat Negara dan tidak meninggalkan tempat itu kecuali
permasalahannya
selesai.

4. Mabbarata, protes
keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani. Kalau tidak, rakyat atau kaum bias mengamuk yang bias berakibat sangat fatal pada keadaan negara.

5. Mallekke' dapureng, tindakan
protes rakyat dengan berpindah kenegeri lain. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: "Kamilah yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari kekuasaannya".(Mattulada, 1985)

Hak
koreksi rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara, merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur "demokrasi".

Tidak ada komentar: