Kelihatannya kita harus membuka lontara antara
era pemerintahan La Tenri Tatta Petta To Ri Sompa’e sampai La Mappanyukki
khususnya versi Bone karena era itulah terjadi jalinan kerja sama maupun
perseteruan antara Raja-Raja di celebes dengan VOC, selain itu orang yang
bersangkutan menyaksikan awal penggunaan secara meluas bagi Ana’ Arung juga
semakin sukar dicari alias sudah banyak yang berpulang ke Rahmatullah, salah
satu pakar yang begitu arif tentang masalah ini adalah Almahrum Tau Ri
Passalama’e Anre Gurutta H.A.Poke Ibni Mappabengga (Mantan imam besar
mesjid Raya Bone)…
Gelar Andi, menurut Susan Millar dalam bukunya ‘Bugis
Weddings’ (telah diterbitkan oleh Ininnawa berjudul (Perkawinan Bugis)
disinggung bagaimana proses lahirnya gelar Andi itu. Memang, seperti yang
disinggung di atas, saat itu Pemerintah Belanda di tahun 1910-1920an ingin
memperbaiki hubungan dengan para bangsawan Bugis dengan membebaskan keturunan
bangsawan dari kerja paksa. Saat itu muncul masalah bagaimana menentukan
seorang berdarah bangsawan atau tidak. Akibatnya, berbondong-bondonglah warga
mendatangi raja dan menegosiasikan diri mereka untuk diakui sebagai bangsawan,
karena rumitnya proses itu maka dibuatlah sebuah gelar baru untuk menentukan kebangsawanan
seseorang dengan derajat yang lebih rendah. di pakailah kata Andi untuk
menunjukkan kebangsawanan seseorang dalam bentuk sertifikat (mungkin sejenis
sertifikat yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah lulus dalam kursus
montir mobil atau sejenisnya).
Penggunaan Andi saat itu juga beragam di setiap
kerajaan. Soppeng misalnya hanya menetapkan bahwa gelar Andi adalah bangsawan
pada derajat keturunan ketiga, sementara Wajo dan Bone hingga keturunan
ketujuh.
Dari sumber berikutnya dapat kami uraikan sebagai
berikut. Gelar Kebangsawanan “Datu” adalah gelar yang sudah ada sejak adanya
kerajaan Bugis, di Luwu misalnya, semua raja bergelar Datu, dan Datu yang
berprestasi bergelar Pajung, jadi tidak semua yang bergelar Datu disebung
Pajung. Sama halnya di Bone, semua raja bergelar Arung, tapi tidak semua Arung
bergelar Mangkau, hanya arung yang berprestasi bergelar Mangkau. Begitu juga di
Makassar atau Gowa, semua bangsawan atau raja-raja bergelar Karaeng, hanya yang
menjadi raja di Gowa yang bergelar Sombaiya.
Gelar kebangsawanan lainnya, mengikut kepada
pemerintahan atau panggaderen di bawahnya, seperti Sulewatang, Arung, Petta,
dan lain-lain. Jadi gelar itu mengikut terhadap jabatan yang didudukinya.
Sementara untuk keturunannya yang membuktikan sebagai keturunan bangsawan, di
Makassar dipanggil Karaeng. sedang di Bugis dipanggil Puang, dan di Luwu
dipanggil Opu.
Adapun gelar Andi, pertama-tama yang
menggunakannya adalah Andi Mattalatta untuk membedakan antara pelajar dari
turunan bangsawan dan rakyat biasa. Dan gelar Andi inilah yang diikuti oleh
turunan bangsawan Luwu, dan Makassar. Jadi di zaman Andi Mattalattalah gelar
ini muncul.
Gelar “Andi” baru ada setelah era Pemerintah
Kolonial Belanda (PKB). Setelah 1905, Sulawesi Selatan benar-benar ditaklukkan
Belanda dan terjadi kekosongan kepemimpinan lokal. Tahun 1920-1930an PKB
mencanangkan membentuk Zelf Beestuur (Pemerintah Pribumi/Swapraja)
yang dibawahi oleh Controleur (Pejabat Belanda) untuk Onder
Afdeling. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang Andi
diidentikan dengan Belanda, mengapa pejuang kemerdekaan (Datu Luwu Andi Jemma,
Arumpone, Andi Mappanyukki, Ranreng Tuwa Wajo Andi Ninnong) tetap memakai gelar
Andi didepan namanya sementara mereka justru menolak dijajah? tapi juga harus
diakui bahwa ada juga yang berinisial Andi yang tunduk patuh pada PKB. Nah ini
yang kita harus bijak menilai antara gelar dan pilihan personal terhadap
kemerdekaan/penjajahan.
Secara umum Bangsawan Bugis berasal dari
pemimpin-pemimpin anang/kampung/wanua sebelum datangnya To Manurung/To
Tompo. Pimpinan-pimpinan kampung ini yang selanjutnya disebut kalula/arung
dengan nama alias/gelar berbeda-beda yang disesuaikan dengan nama
kampung/kondisi/perilaku bersangkutan yang dia peroleh melalui
pengangkatan/pelantikan oleh sekelompok anang/masyarakat maupun secara
kekerasan (peperangan bersenjata) yang selanjutnya diwariskan secara
turun-temurun kepada ahli warisnya, kecuali jika dikemudian hari ternyata dia
ditaklukkan dan diganti oleh penguasa yang lebih tinggi/kuat.
Sedangkan To Manurung dan To Tompo
yang, ‘asal usul’ dan ‘namanya’ kadang-kadang tidak diketahui dan segala
kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, oleh sekelompok
pimpinan kalula/arung/matoa sepakat untuk mengangkatnya menjadi ketua kelompok
dikalangan kalula/arung yang selanjutnya menjadi penguasa/raja yang berarti
pula pondasi dasar sebuah kerajaan/negara telah terbentuk –dimana
tanah/wilayah, pemimpin/penguasa dan pengakuan dari segenap rakyat sudah
terpenuhi.